Hampir 15 tahun bergelut di bidang social sejak 2007 terkadang membuat saya merasa jenuh. Namun jika melihat kembali kondisi masayarakat sekeliling terlebih teman teman sesama difabel membuat saya ragu untuk meninggalkan pekerjaan ini.
Bermula dari keinginan melihat difabel di wilayahku hidup mandiri, saya saat itu mencoba membawa teman teman difabel untuk ikut bekerja di tempat usaha saya di Lombok barat. Saat itu hanya difabel Lombok timur yang saya bawa ke bengkel kerajinan kulit kerang mutiara yang saya rintis di sebuah wilayah wisata senggigi.
Awalnya hanya dua orang lalu tetap saya roling setiap 3 bulan sekali supaya yang lainnya mempunyai pengalaman yang sama. Syukur sykur mereka bisa membuka usaha yang sama seperti saya.
Namun membina difabel yang sudah terkontaminasi dengan pikiran pikiran bahwa mereka harus di bantu oleh pemerintah ternyata tidaklah mudah. Dari sekian orang yang saya bantu melalui pelatihan bahkan sampai harus membelikan mereka peralatan, taka da satupun yang jadi. Mereka masih ingin tetap di suapin, di bantu modal dan penjualan. Hal ini pernah membuat saya marah dan tak peduli dengan mereka.
Namun setelah saya mendirikan LP3AD ( Lembaga Pendidikan Pelatihan dan Pemberdayaan Difabel ) di tahun 2014, saya mulai lagi mencoba membina mereka dengan system yang lebih ketat. Hal ini saya lakukan biar lebih optimal dalam membina mereka.
Setelah LP3AD ini saya rubah menjadi yayasan yang saya akta notariskan dengan nama Lombok Independent Disabilitas Indonesia ( LIDI ) dan penyusun program secara terencana, hasilnya mulai kelihatan. Unit usaha Sanitasi “ Pade Angen “ yang bergelut di bidang produksi Closed dan pembangunan jamban inklusi adalah salah satu unit usaha yang di kembangkan oleh teman teman difabel selain di bidang konveksi.
Selain masalah social yang di hadapi oleh difabel, LIDI juga menangani masalah social lainnya seperti menangani masyarakat miskin yang terkena kanker dan tidak mempunyai biaya kita coba carikan dana, Lansia yang tidak mempunyai BPJS juga kita uruskan BPJS nya, bahkan masyarakat yang membutuhkan air bersih juga kita tangani.
Khusus untuk masalah air bersih, ini adalah program tetap kita setiap tahun di wilayah selatan Lombok timur. Pekerjaan ini tidaklah mudah karena harus menerabas teriknya matahari dan debu, belum lagi dengan rute jalanan yang extrims di beberapa lokasi.
Awalnya kita di cemooh oleh sesame pegiat difabel karena menangani masalah social yang tidak ada kaitannya dengan difabel. Namun ini masalah kemanusiaan yang membuat saya terpaksa harus turun tangan. Terlebih wilayah ini adalah bekas wilayah satu kecamatan dengan tanah kelahiran saya. Dan yang lebih penting lagi adalah air adalah sumber kehidupan yang dimana jika ada ibu hamil yang kekurangan air bersih maka sangat beresiko dan ada kemungkinan melahirkan anak anak yang stuting atau gizi buruk. Kedua masalah ini bisa berujung kea rah difabel jika tidak di tangani dengan baik.
Pemikiran pemikiran seperti inilah yang membuat saya tetap bergelut di bidang sanitasi ini sehingga harus bekerja sama dengan beberapa lembaga seperti Plan international untuk melakukan edukasi ke masyarakat terkait pentingnya sanitasi yang layak dana man untuk semua orang termasuk difabel. Bahkan kita juga bekerja sama dengan Universitas udayana, universitas ITB dan UGM untuk melakukan penelitan terkait dampak sanitasi yang tidak layak buat masyarakat.
Pada bulan juni 2022, hasil dari komitmen kita di program sanitasi mendapatkan apresiasi dari BAPPENAS berupa anugrah AMPL Awards lalu menyusul di bulan agustus saya secara pribadi mendapatkan anugrah juga dari May Bank Indonesia di bali. Hal ini membuat saya semakin yakin dengan program sanitasi ini dan terus berupaya untuk melakukan edukasi terutama terkait dengan askesbilitas yang layak buat difabel.
Saat ini kami lagi melakukan komunikasi dengan Plan International untuk menjajaki program ini di manggarai NTT yang akan di awali dengan acara kampanye sanitasi yang aman dan layak untuk difabel di akhir tahun 2022 ini.
KAMPULASE DARI KONDISI YANG SEBENARNYA.
Banyak yang mengira saya hidup enak karena saya sering keluar kota, sering keluar masuk desa untuk melakukan Workshop dan lain lain. Namun sebenarnya justru sebaliknya. Bahkan samapi saat ini rumahpun masih ngontrak.
Walau pendapatan dari kontrak dengan beberapa NGO dan honor sebagai narasumber sebulannya di atas 5 juta, namun uang tersebut sering tak mencukupi buat keluarga kami karena tak jarang uang yang saya dapatkan harus saya alihkan untuk membiayai kebutuhan beberapa pasien yang kami tangani.
Dulu memang sempat punya penghasilan di atas 7 juta/bulan saat masih membuka usaha perhiasan mutiara. Namun semuanya saya lepas hanya karena ingin focus di bidang social ini. Ini yang membuat lambat laun usaha saya terbengkalai dan terpaksa harus saya tutup. Pilihan ini memang tidak mudah, namun saya harus tetap memilih satu di antara keduanya dan saya memilih pekerjaan social ini. Ini karena saya mendapatkan ketenangan dalam berkegiatan.
Shupot dari istri adalah nilai plus yang membuat saya tetap bersemangan mengabdi kepada masyarak walau dari atas kusri roda. Biarlah kondisi saya ini menjadi motipasi buat orang lain supaya semakin banyak yang peduli terhadap sesamanya dan lingkungannya.
semoga bermanfaat