Dalam acara peringatan Hari Disabilitas Internasional 2021, Menteri Sosial, Tri Rismaharini, secara jelas memaksa seorang penyandang disabilitas tuli untuk berkomunikasi dengan cara berbicara menggunakan mulutnya, padahal penyandang disabilitas tersebut melakukan komunikasinya dengan cara berbahasa isyarat. Adapun kalimat yang disampaikan adalah sebagai berikut :
“Disabilitas Rungu/Tuli akan dibagikan Alat Bantu Dengar (ABD) agar dapat berbicara dan mengurangi penggunaan bahasa Isyarat”, dan
“Ibu paksa memang, supaya kita bisa memaksimalkan pemberian Tuhan kepada kita, mulut, mata, telinga. Jadi Ibu tidak melarang menggunakan bahasa isyarat tapi kalau kamu bisa bicara maka itu akan lebih baik lagi”
Tindakan itu terekam dalam video resmi dari Kementerian Sosial, dan viral di media sosial. Namun sampai saat ini tidak ada itikad bari Menteri Sosial untuk meminta maaf dan mengakui kekhilafannya.
Tindakan tersebut telah menyinggung perasaan warga negara penyandang Disabilitas Rungu/Tuli di Indonesia. Tindakan itu juga diskriminatif yang berbasis pada perspektif audism atau dapat dimaknai sebagai bentuk pemikiran seseorang yang menganggap orang yang dapat mendengar lebih superior dibanding orang tuli. Perspektif itu berbahaya karena dapat berdampak kepada tindakan-tindakan diskriminasi lainnya dalam bentuk lain. Selain itu, cara pandang itu juga bertentangan dengan prinsip HAM yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), dan Pasal 28 ayat (2) UUD NRI 1945.
Pernyataan tersebut juga bertentangan dengan prinsip dalam berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disabilities); Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, khususnya tentang hak berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi pada Pasal 24, dan kewajiban Pemerintah dan pemerintah daerah yang wajib mengakui, menerima, dan memfasilitasi komunikasi penyandang disabilitas dengan menggunakan cara tertentu termasuk Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) pada Pasal 122. Keseluruhan prinsip dan ketentuan itu menggunakan perspektif Hak Asasi Manusia dan sudah mengganti cara pandang dengan pendekatan belas kasih (charity-based approach) dan mengubahnya menjadi pendekatan HAM (human-right approach).
Untuk mendukung penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, penting untuk memahami keunikan atau perbedaan cara seorang penyandang disabilitas berinteraksi dan berkomunikasi. Bagi seorang disabilitas tuli mendapatkan informasi dengan cara visual, yaitu menggunakan indera penglihatan (mata), sehingga cara berkomunikasi dengan bahasa isyarat, dalam hal ini menggunakan Bisindo, harus dihormati dan difasilitasi. Pilihan komunikasi seseorang dengan menggunakan bahasa isyarat tidak boleh dilarang dan dipaksa untuk mengganti cara berkomunikasinya. Peran Pemerintah dan pemerintah daerah dalam hal ini adalah menyediakan aksesibilitas dan akomodasi yang layak, seperti juru bahasa isyarat (JBI), juru ketik, dan Alat Bantu Dengar (ABD), serta melakukan sosialisasi kepada masyarakat umum terkait keragaman cara berkomunikasi, agar tercipta lingkungan yang inklusif.
Sesuai dengan perkataan Ibu yang meminta kami memaksimalkan ciptaan Tuhan, maka penggunaan bahasa Isyarat dalam berkomunikasi adalah upaya kami untuk memaksimalkan ciptaan Tuhan yang diberikan kepada kami. Tuhan mungkin memberikan mata, telinga, mulut dan kaki yang sama, tapi kemampuan mata, telinga, mulut dan kaki pada setiap manusia berbeda. Dengan kata lain, tentunya tidak bisa menyamakan kami dari satu tuli ke tuli lainnya. Disabilitas Rungu/Tuli memiliki fungsi dan kemampuan pendengaran yang berbeda-beda sehingga mempengaruhi kebutuhan dan cara kami dalam berkomunikasi yang berbeda-beda.
Cara komunikasi penyandang disabilitas tuli yang lain adalah dengan bahasa isyarat alamiah, yang juga merupakan cara komunikasi paling efektif. Dengan cara itu, ABD bukanlah solusi dan alat yang dapat membantu anak Tuli berbicara dengan sempurna. Agar anak-anak Tuli dapat berbicara dengan baik, mereka perlu diberikan akses bahasa isyarat di usia bayi terlebih dahulu dengan maksud mencegah deprivasi bahasa. Melalui bahasa isyarat alamiah pun, anak-anak Tuli dapat mengekspresikan dirinya, lebih mudah memahami penjelasan tentang dunia dan berkomunikasi dua arah dengan lingkungannya. Dengan kata lain, untuk mencegah deprivasi bahasa, dan meningkatkan pendidikan dan literasi anak-anak tuli lebih baik, mari kita berjumpa untuk membicarakan masa depan anak-anak Tuli demi Indonesia Maju, Indonesia Tangguh.
Demikian siaran pers ini kami sampaikan. Kami sangat berharap, Ibu Menteri Sosial bersedia untuk meminta maaf atas kekhilafannya, dan duduk bersama untuk berdiskusi bersama Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas Anti Audism agar dapat tercapai saling memahami dan bekerjasama sesegera mungkin.
Stop Diskriminasi!
Stop Audisme!