Pada 14 Februari 2023, DPR resmi mensahkan Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan (RUU Kesehatan) sebagai usulan inisiatif DPR, yang selanjutnya akan dibahas bersama dengan Pemerintah. RUU Kesehatan ini termasuk dalam RUU prioritas yang akan dibahas pada 2023. Walaupun sudah menjadi usul inisiatif DPR, RUU Kesehatan masih menyisakan berbagai catatan. Salah satunya yang menjadi perhatian dari Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas adalah ketentuan  dalam Pasal 135 pada draft RUU Kesehatan per 7 Februari 2023, yang menyebutkan bahwa:

Ayat (1) “Dalam rangka pengadaan pegawai atau pekerja pada perusahaan/instansi harus dilakukan pemeriksaan Kesehatan baik fisik maupun jiwa, dan pemeriksaan psikologi.

Ayat (2) “Hasil pemeriksaan kesehatan dan pemeriksaan psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan kelulusan dalam proses seleksi.

Ayat (3) “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pasal 135 berpotensi membebani pemberi kerja dan calon pekerja/pegawai; bersifat diskriminatif karena melanggar hak atas  pekerjaan,  hak atas akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas; kontraporiduktif dengan upaya Pemerintah dalam menciptakan dunia kerja yang inklusif; dan berpotensi bertentangan dengan ketentuan dalam UUD NRI 1945 dan ketentuan UU lainnya. Selain itu, Ketentuan Pasal 135 menjadikan RUU Kesehatan justru akan menegasikan peran Negara sebagai pengemban kewajiban dalam memberikan pelindungan hak terhadap warga negara. UU seharusnya menjadi alat bagi Pemerintah menjalankan peran Negara, bukan sebaliknya.

Pada Pasal 135 ayat (1) RUU Kesehatan yang mengharuskan pengadaan pegawai atau pekerja melakukan pemeriksaan kesehatan fisik dan jiwa akan menambah beban kepada pemberi kerja. Seharusnya pemeriksaan kesehatan tetap menjadi opsi, karena pemeriksaan dalam praktiknya membutuhkan biaya. Bahkan bukan tidak mungkin biaya itu justru dibebankan kepada calon pekerja atau pegawai yang sedang melamar pekerjaan tersebut.

Pada Pasal 135 ayat (2) RUU Kesehatan bersifat diskriminatif karena kondisi kesehatan seseorang diperintahkan untuk menjadi dasar penetapan kelulusannya dalam seleksi. Hal itu menunjukan bahwa RUU Kesehatan tidak menginginkan seseorang yang sakit untuk mendapatkan pekerjaan. Padahal UUD NRI 1945 sudah menjamin hak atas pekerjaan bagi setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali

 

termasuk bagi mereka yang sedang memiliki penyakit, yaitu dalam Pasal 28D ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja serta  mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” dan Pasal 27 ayat

(2)  UUD  NRI  1945  yang  menjamin  bahwa  “tiap-tiap  warga  negara  berhak  atas

pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

RUU Kesehatan seharusnya menjadi peraturan yang mampu mengelaborasi pelindungan terhadap hak atas pekerjaan yang tercantum dalam Konstitusi tersebut. Selian itu, informasi mengenai kondisi kesehatan pekerja atau pegawai seharusnya menjadi dasar bagi pemberi kerja untuk memberikan serangkaian dukungan agar pekerja taau pegawai tersebut dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik, bukan justru menjadi alasan untuk membuatnya tidak  lolos  seleksi.  Pemerintah  melalui RUU Kesehatan seharusnya dapat melindungu seseorang yang  sedang  menderita suatu penyakit untuk mendapatkan pekerjaan, agar seseorang itu memiliki penghasilan dan dapat berobat dengan baik. Atau bahkan aspek kesehatan seharusnya tidak menjadi faktor dalam seleksi pekerjaan karena sudah dipastikan pengobatannya dijamin oleh Negara, baik melalui skema  asuransi  atau  difasilitasi oleh pemberi kerja.

Dalam lingkup ketentuan mengenai kepegawaian, Pasal 135 ayat (2) bertentangan dengan Sistem Merit yang diterapkan, yaitu kebijakan dan manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dilakukan berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar. Dengan kata lain,  aspek  kesehtaan tidak dapat menjadi dasar penilaian untuk menentukan kebijakan dalam manajemen ASN, termasuk dalam proses seleksi. Bahkan dalam ketentuan mengenai Manajemen ASN (Pasal 92 ayat (1) huruf a) dan Manajemen PPPK (Pasal 106 ayat (1) huruf a) diatur mengenai perlindungan bagi ASN dan PPPK berika jaminan kesehatan. Oleh karena itu ketentuan Pasal 135 ayat (2) RUU Kesehatan berpotensi bertentangan dengan UU ASN.

Dalam perspektif disabilitas, Pasal 135 ayat (2) juga termasuk dalam kebijakan yang diskriminatif. Penyandang Disabilitas menjadi bagian dari warga negara Indonesia yang berpotensi tidak mendapatkan pekerjaan apabila Pasal 135 ayat (2) RUU Kesehatan diterapkan, karena dalam perspektif kesehatan kondisi disabilitas sama dengan adanya gangguan pada kesehatan fisik atau mental seseorang. Pasal 11 huruf a UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Penyandang Disabilitas) sudah menjamin bahwa Penyandang Disabilitas berhak memperoleh pekerjaan. Sebagai pelaksanaannya, informasi mengenai kondisi hambatan seseorang bukan dijadikan alasan untuk melarangnya untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi menjadi dasar pemberi kerja untuk dapat menyediakan akomodasi yang layak sebagai bentuk faislitasi atau dukungan bagi penyandang disabilitas yang bersangkungan untuk melaksanakan pekerjaannya (Pasal 50 ayat (1) UU Penyandang Disabilitas).

Kelemahan dari Pasal 135 RUU Kesehatan tersebut terjadi karena perumusannya yang tidak melibatkan kelompok masyarakat yang terkait dan akan

 

terdampak dengan pengaturannya, termasuk organisasi penyandang disabilitas. Terlihat jelas bahwa kelemahan Pasal 135 RUU Kesehatan adalah pada aspek perspektif dan pengalaman di lapangan yang terbatas dari penyusun RUU. Seharusnya proses penyusunan RUU Kesehatan sudah melibatkan pihak-pihak terkait untuk memberikan masukan, termasuk penyandang disabilitas, sebagaimana diatur dalam Pasal 96 ayat (1) dan (3) UU Nomor 13 tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan (UU 13/2022).

Berdasarkan argumentasi tersebut, Koalisi menyatakan:

  1. Menolak ketentuan Pasal 135 RUU Kesehatan;
  2. Mendesak DPR dan Pemerintah untuk melibatkan secara bermakna organisasi penyandang disabilitas dan organisasi  lain  yang  terdampak  dalam pembahasan RUU Kesehatan; dan
  3. Mendesak Pemerintah untuk tidak menutup jalur masukan dari masyarakat sampai hari jumat, 17 Maret 2023, karena perlu waktu lebih untuk membaca dan memahami draft RUU Kesehatan;
  4. Mendesak DPR dan Pemerintah untuk mempublikasikan draft RUU Kesehatan dalam format alternatif, selain format pdf, untuk menjamin aksesibilitas penyandang disabilitas dalam membaca dan memahami draft RUU

 

Pendukung Siaran Pers:

  1. Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS);
  2. PJS Sumatera Barat;
  3. SIGAB Indonesia;
  4. Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia;
  5. Perhimpunan Jiwa Sehat Blitar;
  6. PJS Jakarta;
  7. Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia;
  8. Sapda;
  9. Persatuan Tuna Netra Indonesia;
  10. FORMASI;
  11. DPP Gerkatin;
  12. OHANA;
  13. CIQAL;
  14. PPDI Kota Padang;
  15. DPP HWDI;
  16. POKJA;
  17. DPC HWDI Padang;
  18. PPDI